Morfologi dan Taksonomi Enhalus ecorides
Ekosistem
lamun merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun
mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad
hidup di laut dangkal, yaitu sebagai produsen primer, habitat biota, penjebak
sedimen dan penjebak zat hara (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya
tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang
memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun
umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat
dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya.. Air yang
bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta
mengangkut hasil metaboliseme lamun ke
luar padang lamun (Bengen, 2002).
E. acoroides mempunyai
akar rimpang berdiameter 13,15 – 17,20 mm yang tertutup rapat dengan
rambut-rambut yang kaku dan keras (Gambar 1). Akar berbentuk seperti tali,
berjumlah banyak dan tidak bercabang. Panjangnya antara 18,50 – 157,65 mm dan
diameternya antara 3,00 – 5,00 mm. Bentuk daun seperti pita tepinya rata dan
ujungnya tumpul, panjangnya antara 65,0 – 160,0 cm dan lebar antara 1,2 – 2,0
cm. Di rataan terumbu Pulau Pari, E. acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir
dan pasir pecahan karang yang selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam
kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa individu atau kumpulan individu
yang rapat, berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan T. hemprichii dan Halophila
ovalis (Kiswara, 1992). E. acoroides
merupakan jenis lamun yang mempunyai ukuran paling besar, helaian daunnya dapat
mencapai ukuran lebih dari 1 meter. Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai
kedalaman 4 meter, pada dasar pasir, pasir lumpur atau lumpur. Vegetasi
melimpah di daerah pasang surut. Walaupun cenderung untuk selalu membentuk
vegetasi murni, namun terdapat jenis lain yang berasosiasi yaitu H. ovalis, Cymodocea serrulata, C.
rotundata, T. hemprichii dan S.
isoetifolium. E. acoroides berbunga
sepanjang tahun (den Hartog, 1977).
Menurut den Hartog (1977) E. acoroides dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Anthophyta
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Sub Famili : Vallisneriodeae
Genus : Enhalus
Spesies : Enhalus
acoroides
Pertumbuhan Lamun
Pertumbuhan lamun dapat dilihat
dari pertambahan panjang bagian-bagian tertentu seperti daun dan rhizomanya. Namun pertumbuhan rhizoma
lebih sulit diukur pada jenis-jenis tertentu karena umumnya berada dibawah
substrat, penelitian pertumbuhan daun lamun berada di atas substrat, sehingga
lebih mudah diamati (Brouns, 1985). Rata-rata laju pertumbuhan daun E. acoroides dari hari ke-3 sampai
kepada hari ke-13 konstan sebesar 0,84 cm/hari setelah itu menurun 8,4%/hari
sampai akhirnya pertumbuhannya terhenti pada hari ke-24 (Brouns, 1985).
Pertumbuhan daun lamun
berbeda-beda antara lokasi yang satu dengan yang lainnya, hal ini dikarenakan
kecepatan/laju pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti
fisiologi, metabolisme dan faktor-faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat
kesuburan substrat dan parameter lingkungan lainnya. Pertumbuhan lamun dapat
dilihat dari pertambahan panjang bagian-bagian tertentu seperti daun dan
rhizoma dalam kurung waktu tertentu.
Helaian daun tidak memiliki
penyokong mekanik yang memberikan fleksibel dan lentur sehingga memungkinkan
untuk refleks bergerak dalam air pada saat surut. Daun dapat bergerak
refleks menggunakan tarikan friksional
yang lebih beasr di dalam kolom air untuk : (1) mengurangi kecepatan arus,
membatasi difusi pada permukaan daun (dengan mengeluarkan gelembung-gelembung
pada tempat-tempat khusus), dan mengurangi erosi sedimen
dalam padang lamun; dan (2) meningkatkan sedimentasi bahan-bahan organik dan
fungsi perlindungan padang lamun bagi hewan-hewan (Arifin, 2001).
Parameter Oseanografi yang mempangaruhi Pertumbuhan Lamun
1. Salinitas
Salinitas adalah total kosentrasi ion-ion terlarut yang
terdapat di perairan. Salinitas dinyatakan dalam satuan promil (‰). Nilai
salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5‰, perairan payau antara 0,5‰
- 30‰, dan perairan laut 30‰ - 40‰. Pada perairan pesisir, nilai salinitas
sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai ( Effendi, 2003).
Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun memiliki kemampuan
toleransi yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki
kisaran yang lebar yaitu 10-40‰. Nilai salinitas yang optimum untuk lamun
adalah 35‰. Walaun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang
berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang besar terhadap
salinitas yaitu antara 10-30 ‰. Penurunan
salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis.
(Dahuri, 2001).
2. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu
terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme,
penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25 -
30°C, fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian
juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran
yang lebih luas yaitu 5-35°C (Hutomo, 1999).
Menurut Nontji (1993), pengaruh suhu terhadap sifat
fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
fotosintesis. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan lamun berkiasar antara 24-27
0C. Suhu air dibagian pantai biasanya sedikit lebih tinggi
dari pada yang di lepas pantai, suhu air permukaan di perairan nusantara
umumnya berada dalam kisaran 28-30 0C sedangkan pada lokasi yang
sering terjadi kenaikan air (upwelling)
seperti Laut Banda, suhu permukaan bisa menurun sekitar 25 0C.
3. Kekeruhan
Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air
yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi dari suatu polutan
yang terkandung dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya partikel-partikel
kecil dan koloid berukuran 10mm
sampai 10m
seperti kwarts, tanah liat, sisa tanaman dan sebagainya. Kekeruhan air juga
disebabkan oleh adanya padatan tarsuspensi seperti lumpur, zat organik,
plankton dan organisme kecil lainnya
(Effendi, 2003).
Menurut Boyd (1985) dalam
Effendi (2003), peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13% -
50% produksi primer. Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan.
Semakin tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya
kekeruhan, misalnya air laut memiliki nilai padatan terlarut tinggi, tetapi
tidak berarti memiliki kekeruhan yang
tinggi. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem
osmoregulasi.
Kebutuhan padang lamun akan intensitas cahaya yang tinggi
untuk membantu proses fotosintesis diperlihatkan dengan observasi dimana distribusinya terbatas pada perairan dengan kedalaman tidak lebih dari
10 meter. Beberapa aktivitas yang meningkatkan muatan sedimentasi pada badan
air akan berakibat pada tingginya turbiditas residu sehingga berpotensi untuk
mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini dapat menggangu produksi primer dari
ekosistem padang lamun (Dahuri, 2001).
4. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah ukuran tentang besarnya
kosentrasi ion hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa
dalam reaksinya (Wardoyo, 1975). Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap organisme perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk
untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan masih tergantung pada
factor-faktor lain.
Nybakken (1992)
menyatakan jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan tolak ukur
keasaman. Nilai pH merupakan hasil pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam
larutan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air.
pH air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi produktivitas perairan. Suatu perairan dengan pH 5,5-6,5 termasuk
perairan yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan
yang produktif, perairan dengan pH 7,5-8,5 adalah perairan yang memiliki
produktivitas yang sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari
8,5 dikategorikan sebagai perairan yang tidak produktif lagi (Mubarak, 1981).
5. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah kandungan oksigen yang terlarut
dalam perairan yang merupakan suatu komponen utama bagi metabolisme organisme
perairan yang digunakan untuk pertumbuhan, reproduksi, dan kesuburan lamun (Odum,
1971).
Kandungan oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: (1) interaksi antara permukaan air dan atmosfir
(2) kegiatan biologis seperti fotosintesis, respirasi dan dekomposisi bahan
organik (3) arus dan proses percampuran massa air (4) fluktuasi suhu (5)
salinitas perairan (6) masuknya limbah organik yang mudah terurai. Keseimbangan
struktur senyawa bahan anorganik dipengaruhi oleh kandungan oksigen perairan.
Kesetimbangan nitrogen misalnya ditentukan oleh besar kecilnya oksigen yang ada
di perairan di mana ketika oksigen tinggi akan bergerak kesetimbangan fasfat.
Hal ini disebabkan oleh senyawa anorganik seperti nitrogen dan fosfat umumnya
berada dalam bentuk ikatan dengan unsur oksigen (Hutagalung dan Rozak, 1997).
6. Nitrat
Nitrat (NO3)
adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien bagi
pertumbuhan lamun. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil.
Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di
perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit dan
nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada
kondisi. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokan tingkat kesuburan perairan.
Perairan oligtrofik memiliki kadar nitrat antara 0 – 5 mg/L, perairan
mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1 – 5 mg/L, dan perairan eutrofik
memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5 – 50 mg/L ( Effendi, 2003).
7. Fosfat
Fosfat merupakan salah satu unsur esensial bagi
metabolisme dan pembentukan protein, fosfat yang diserap oleh jasad hidup
nabati perairan (makro maupun makrofita) adalah fosfat dalam bentuk orto-fosfat
yang larut dalam air. Orto-fosfat dalam jumlah yang kecil, yang merupakan
faktor pembatas bagi produktivitas perairan (Hatchinsons, 1967).
Menurut Hutagalong dan Rozak (1997), fosfat yang terkandung dalam air laut baik bentuk terlarut
maupun tersupsensi keduanya berada dalam bentuk anorganik dan organik. Bentuk
senyawa anorganik terutama terdiri atas gula fosfat dan hasilnya-hasil
oksidasi, nucleoprotein dan fosforprotein. Senyawa fosfat organik yang
terkandung dalam air laut umumnya berbentuk ion (ortro) asam fosfat, H3PO4.
Kira-kira 10% dari fosfat anorganik, terdapat sebagai ion PO43-
dan sebagai besar kira-kira 90% dalam bentuk HPO42-.
Menurut Chaniago (1994) sumber utama fosfat terlarut
dalam perairan adalah hasil pelapukan, mineral yang mengandung fosfor serta
bahan organik seperti hancuran tumbuh-tumbuhan. Fosfat yang terdapat dalam air
laut berasal dari hasil dekomposisi organisme, run-off dari daratan (erosi
tanah), hancuran dari bahan-bahan organik dan mineral fosfat serta masukan
limbah domestik yang mengandung fosfat. Kematian biota, lamun dan
mikroorganisme lainnya memberikan masukan kuantitas nutrient dimana fosfor
organik dalam jaringannya secara cepat berubah menjadi fosfat melalui enzim
fosfatase..
Sulaeman
(2005), mengemukakan pembagian tipe perairan berdasarkan kandungan fosfat di
perairan sebagai berikut :
Tabel 1.
penggolongan kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfatnya
No
|
Kandungan Fosfat
|
Tingkat Kesuburan
|
1
|
<5 ppm
|
Kesuburan sangat rendah
|
2
|
5 – 10 ppm
|
Kesuburan rendah
|
3
|
11 – 15 ppm
|
Kesuburan sedang
|
4
|
16 – 20 ppm
|
Kesuburan baik sekali
|
5
|
>21 ppm
|
Kesuburan sangat baik
|
Salah satu unsur
penting sebagai makro nutrien adalah fosfor. Studi mengenai transformasi, pertukaran dan dinamika dari unsur fosfor
diketahui sangat penting dalam
membicarakan persediaan untuk keperluan organisme yang hidup di laut.
Sumber utama unsur fosfor di laut
berasal dari endapan terestrial yang mengalami erosi dan pupuk pertanian yang
dibawah oleh aliran sungai. Disamping hal tersebut fosfor dalam lingkungan laut
juga mengalami siklus yang meliputi
interaksi antara suatu organisme dengan organisme yang lain dan antara
organisme dengan lingkungannya. Siklus fosfor mempertahankan fosfor bagi
organisme. Hal ini penting pada lingkungan laut yang jauh dari daerah pantai, karena tidak adanya
sumber utama fosfor yang di bawa oleh aliran sungai (Horax, 1998).
Siklus fosfor juga dapat terjadi dalam sedimen laut. Hal
ini menyebabkan banyak mikro organisme dapat hidup dalam sedimen, seperti
mikrobentos (bakteri dan fungi, protozoa flagellate, amoeba, Alga flamenthous),
meiobentos (foraminifera, jenis-jenis crustaceae dan organisme-organisme kecil
lainnya), dan makrobentos (binatang
dengan ukuran lebih besar dari 500 mikron). Siklus ini menjadi lebih penting
terutama pada lapisan sedimen yang jauh dari permukaan laut karena lapisan sedimen tersebut tidak mendapat
masukan unsur fosfor dari fosfor partikulat yang terdapat dalam kolom air.
Dengan adanya siklus fosfor maka keberadaan unsur fosfor dapat dipertahankan
sehingga dapat diambil oleh mikroorganisme sebagai mikronutrien untuk
kelangsungan hidupnya. Fosfat dengan mudah di hidrolisis dari senyawa organik
yaitu pada pH alkalis dari air laut atau oleh enzim fosfalase yang merupakan
enzim hidrolitik yang terdapat pada bakteri dan pada permukaan beberapa jenis fitoplankton
terutama pada lingkungan yang rendah fosfat anorganiknya. Fraksi lain dari fosfat terlarut yang sebagian
berbentuk koloid terdiri dari ester fosfat organik yang berasal dari organisme
hidup. Fraksi ini disamping merupakan hasil ekskresi organisme, juga terbentuk
dari hasil autolisis organisme yang mati (Horax, 1998).
8. Sedimen
Perbedaan komposisi jenis substrat dapat menyebabkan
perbedaan komposisi jenis lamun dan juga dapat mempengaruhi perbedaan kesuburan
dan pertumbuhan lamun. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perbedaan
komposisi ukuran butiran pasir akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi
pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi dan meneralisasi yang terjadi di dalam
substrat (Kiswara,1992).
Hutabarat dan Evans (1985)
menyatakan partikel batuan-batuan diangkut dari daratan ke laut oleh-sungai-sungai.
Begitu sedimen mencapai lautan, penyebaran kemudian ditentukan oleh sifat-sifat
fisik dari partikel itu sendiri khususnya oleh lamanya mereka tinggal melayang-layang
dilapisan (kolom) air, partikel-partikel yang berukuran besar cenderung untuk
lebih cepat tenggelam dan menetap daripada yang berukuran kecil. Sedimen
terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik berasal dari
hewan dan tumbuh-tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan
bercampur dengan lumpur. Bahan anorganik
umumnya berasal dari hasil pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan
terbagi atas, kerikil, pasir, lumpur dan liat. Butiran kasar banyak dijumpai
dekat pantai, sedangkan butiran sedimen halus banyak ditemui di perairan dalam
atau perairan tenang.
No comments:
Post a Comment