Wednesday 23 January 2013

Parameter Oseanografi mempengaruhi Pertumbuhan Lamun


Morfologi dan Taksonomi Enhalus  ecorides
            Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang paling  produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, yaitu sebagai produsen primer, habitat biota, penjebak sedimen dan penjebak zat hara (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
            Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya.. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metaboliseme  lamun ke luar padang lamun (Bengen, 2002).
E. acoroides mempunyai akar rimpang berdiameter 13,15 – 17,20 mm yang tertutup rapat dengan rambut-rambut yang kaku dan keras (Gambar 1). Akar berbentuk seperti tali, berjumlah banyak dan tidak bercabang. Panjangnya antara 18,50 – 157,65 mm dan diameternya antara 3,00 – 5,00 mm. Bentuk daun seperti pita tepinya rata dan ujungnya tumpul, panjangnya antara 65,0 – 160,0 cm dan lebar antara 1,2 – 2,0 cm. Di rataan terumbu Pulau Pari, E.  acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir pecahan karang yang selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa individu atau kumpulan individu yang rapat, berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan T. hemprichii dan Halophila ovalis (Kiswara, 1992). E. acoroides merupakan jenis lamun yang mempunyai ukuran paling besar, helaian daunnya dapat mencapai ukuran lebih dari 1 meter. Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter, pada dasar pasir, pasir lumpur atau lumpur. Vegetasi melimpah di daerah pasang surut. Walaupun cenderung untuk selalu membentuk vegetasi murni, namun terdapat jenis lain yang berasosiasi yaitu H. ovalis, Cymodocea serrulata, C. rotundata, T. hemprichii dan S. isoetifolium. E. acoroides berbunga sepanjang tahun (den Hartog, 1977).
Menurut den Hartog (1977) E. acoroides dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
      Divisi               :  Anthophyta
      Kelas               :  Monocotyledonae
      Ordo                :  Helobiae
      Famili              :  Hydrocharitaceae
      Sub Famili       :  Vallisneriodeae
      Genus             :  Enhalus
      Spesies           :  Enhalus acoroides

 Pertumbuhan Lamun
Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan panjang bagian-bagian tertentu seperti daun  dan rhizomanya. Namun pertumbuhan rhizoma lebih sulit diukur pada jenis-jenis tertentu karena umumnya berada dibawah substrat, penelitian pertumbuhan daun lamun berada di atas substrat, sehingga lebih mudah diamati (Brouns, 1985). Rata-rata laju pertumbuhan daun E. acoroides dari hari ke-3 sampai kepada hari ke-13 konstan sebesar 0,84 cm/hari setelah itu menurun 8,4%/hari sampai akhirnya pertumbuhannya terhenti pada hari ke-24 (Brouns, 1985).
Pertumbuhan daun lamun berbeda-beda antara lokasi yang satu dengan yang lainnya, hal ini dikarenakan kecepatan/laju pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti fisiologi, metabolisme dan faktor-faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat kesuburan substrat dan parameter lingkungan lainnya. Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan panjang bagian-bagian tertentu seperti daun dan rhizoma dalam kurung waktu tertentu.
Helaian daun tidak memiliki penyokong mekanik yang memberikan fleksibel dan lentur sehingga memungkinkan untuk refleks bergerak dalam air pada saat surut. Daun dapat bergerak refleks  menggunakan tarikan friksional yang lebih beasr di dalam kolom air untuk : (1) mengurangi kecepatan arus, membatasi difusi pada permukaan daun (dengan mengeluarkan gelembung-gelembung pada tempat-tempat khusus), dan mengurangi erosi sedimen dalam padang lamun; dan (2) meningkatkan sedimentasi bahan-bahan organik dan fungsi perlindungan padang lamun bagi hewan-hewan (Arifin, 2001).
Parameter Oseanografi yang mempangaruhi Pertumbuhan Lamun 
1. Salinitas
Salinitas adalah total kosentrasi ion-ion terlarut yang terdapat di perairan. Salinitas dinyatakan dalam satuan promil (‰). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5‰, perairan payau antara 0,5‰ - 30‰, dan perairan laut 30‰ - 40‰. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai ( Effendi, 2003).
Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10-40‰. Nilai salinitas yang optimum untuk lamun adalah 35‰. Walaun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang besar terhadap salinitas yaitu antara 10-30 ‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis. (Dahuri, 2001).

2. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25 - 30°C, fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C (Hutomo, 1999).
Menurut Nontji (1993), pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan lamun berkiasar antara 24-27 0C. Suhu air dibagian pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada yang di lepas pantai, suhu air permukaan di perairan nusantara umumnya berada dalam kisaran 28-30 0C sedangkan pada lokasi yang sering terjadi kenaikan air (upwelling) seperti Laut Banda, suhu permukaan bisa menurun sekitar 25 0C.
 3. Kekeruhan
Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi dari suatu polutan yang terkandung dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya partikel-partikel kecil dan koloid berukuran 10mm sampai 10m seperti kwarts, tanah liat, sisa tanaman dan sebagainya. Kekeruhan air juga disebabkan oleh adanya padatan tarsuspensi seperti lumpur, zat organik, plankton dan organisme kecil  lainnya (Effendi, 2003).
Menurut Boyd (1985) dalam Effendi (2003), peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13% - 50% produksi primer. Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan, misalnya air laut memiliki nilai padatan terlarut tinggi, tetapi tidak  berarti memiliki kekeruhan yang tinggi. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi.
Kebutuhan padang lamun akan intensitas cahaya yang tinggi untuk membantu proses fotosintesis diperlihatkan dengan observasi dimana distribusinya terbatas pada perairan dengan kedalaman tidak lebih dari 10 meter. Beberapa aktivitas yang meningkatkan muatan sedimentasi pada badan air akan berakibat pada tingginya turbiditas residu sehingga berpotensi untuk mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini dapat menggangu produksi primer dari ekosistem padang lamun (Dahuri, 2001).

4. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah ukuran tentang besarnya kosentrasi ion hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa dalam reaksinya (Wardoyo, 1975). Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan masih tergantung pada factor-faktor lain.
  Nybakken (1992) menyatakan jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan tolak ukur keasaman. Nilai pH merupakan hasil pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air.
pH air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas perairan. Suatu perairan dengan pH 5,5-6,5 termasuk perairan yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang produktif, perairan dengan pH 7,5-8,5 adalah perairan yang memiliki produktivitas yang sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5 dikategorikan sebagai perairan yang tidak produktif lagi (Mubarak, 1981).

5. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah kandungan oksigen yang terlarut dalam perairan yang merupakan suatu komponen utama bagi metabolisme organisme perairan yang digunakan untuk pertumbuhan, reproduksi, dan kesuburan lamun (Odum, 1971).
Kandungan oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (1) interaksi antara permukaan air dan atmosfir (2) kegiatan biologis seperti fotosintesis, respirasi dan dekomposisi bahan organik (3) arus dan proses percampuran massa air (4) fluktuasi suhu (5) salinitas perairan (6) masuknya limbah organik yang mudah terurai. Keseimbangan struktur senyawa bahan anorganik dipengaruhi oleh kandungan oksigen perairan. Kesetimbangan nitrogen misalnya ditentukan oleh besar kecilnya oksigen yang ada di perairan di mana ketika oksigen tinggi akan bergerak kesetimbangan fasfat. Hal ini disebabkan oleh senyawa anorganik seperti nitrogen dan fosfat umumnya berada dalam bentuk ikatan dengan unsur oksigen  (Hutagalung dan Rozak, 1997).

6. Nitrat
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien bagi pertumbuhan lamun. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligtrofik memiliki kadar nitrat antara 0 – 5 mg/L, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1 – 5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5 – 50 mg/L ( Effendi, 2003).

7.  Fosfat
Fosfat merupakan salah satu unsur esensial bagi metabolisme dan pembentukan protein, fosfat yang diserap oleh jasad hidup nabati perairan (makro maupun makrofita) adalah fosfat dalam bentuk orto-fosfat yang larut dalam air. Orto-fosfat dalam jumlah yang kecil, yang merupakan faktor pembatas bagi produktivitas perairan (Hatchinsons, 1967).
Menurut Hutagalong dan Rozak (1997), fosfat yang  terkandung dalam air laut baik bentuk terlarut maupun tersupsensi keduanya berada dalam bentuk anorganik dan organik. Bentuk senyawa anorganik terutama terdiri atas gula fosfat dan hasilnya-hasil oksidasi, nucleoprotein dan fosforprotein. Senyawa fosfat organik yang terkandung dalam air laut umumnya berbentuk ion (ortro) asam fosfat, H3PO4. Kira-kira 10% dari fosfat anorganik, terdapat sebagai ion PO43- dan sebagai besar kira-kira 90% dalam bentuk HPO42-.
Menurut Chaniago (1994) sumber utama fosfat terlarut dalam perairan adalah hasil pelapukan, mineral yang mengandung fosfor serta bahan organik seperti hancuran tumbuh-tumbuhan. Fosfat yang terdapat dalam air laut berasal dari hasil dekomposisi organisme, run-off dari daratan (erosi tanah), hancuran dari bahan-bahan organik dan mineral fosfat serta masukan limbah domestik yang mengandung fosfat. Kematian biota, lamun dan mikroorganisme lainnya memberikan masukan kuantitas nutrient dimana fosfor organik dalam jaringannya secara cepat berubah menjadi fosfat melalui enzim fosfatase..
            Sulaeman (2005), mengemukakan pembagian tipe perairan berdasarkan kandungan fosfat di perairan sebagai berikut :
Tabel 1. penggolongan kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfatnya

No
Kandungan Fosfat
Tingkat Kesuburan
1
<5 ppm
Kesuburan sangat  rendah
2
5 – 10 ppm
Kesuburan rendah
3
11 – 15 ppm
Kesuburan sedang
4
16 – 20 ppm
Kesuburan baik sekali
5
>21 ppm
Kesuburan sangat baik

Salah satu unsur  penting sebagai makro nutrien adalah fosfor. Studi mengenai transformasi, pertukaran dan dinamika dari unsur fosfor diketahui sangat penting  dalam membicarakan persediaan untuk keperluan organisme yang hidup di laut. Sumber  utama unsur fosfor di laut berasal dari endapan terestrial yang mengalami erosi dan pupuk pertanian yang dibawah oleh aliran sungai. Disamping hal tersebut fosfor dalam lingkungan laut juga mengalami  siklus yang meliputi interaksi antara suatu organisme dengan organisme yang lain dan antara organisme dengan lingkungannya. Siklus fosfor mempertahankan fosfor bagi organisme. Hal ini penting pada lingkungan laut yang jauh  dari daerah pantai, karena tidak adanya sumber utama fosfor yang di bawa oleh aliran sungai (Horax, 1998).
Siklus fosfor juga dapat terjadi dalam sedimen laut. Hal ini menyebabkan banyak mikro organisme dapat hidup dalam sedimen, seperti mikrobentos (bakteri dan fungi, protozoa flagellate, amoeba, Alga flamenthous), meiobentos (foraminifera, jenis-jenis crustaceae dan organisme-organisme kecil lainnya), dan makrobentos  (binatang dengan ukuran lebih besar dari 500 mikron). Siklus ini menjadi lebih penting terutama pada lapisan sedimen yang jauh dari permukaan laut  karena lapisan sedimen tersebut tidak mendapat masukan unsur fosfor dari fosfor partikulat yang terdapat dalam kolom air. Dengan adanya siklus fosfor maka keberadaan unsur fosfor dapat dipertahankan sehingga dapat diambil oleh mikroorganisme sebagai mikronutrien untuk kelangsungan hidupnya. Fosfat dengan mudah di hidrolisis dari senyawa organik yaitu pada pH alkalis dari air laut atau oleh enzim fosfalase yang merupakan enzim hidrolitik yang terdapat pada bakteri dan pada permukaan beberapa jenis fitoplankton terutama pada lingkungan yang rendah fosfat anorganiknya. Fraksi  lain dari fosfat terlarut yang sebagian berbentuk koloid terdiri dari ester fosfat organik yang berasal dari organisme hidup. Fraksi ini disamping merupakan hasil ekskresi organisme, juga terbentuk dari hasil autolisis organisme yang mati (Horax, 1998).

8. Sedimen
Perbedaan komposisi jenis substrat dapat menyebabkan perbedaan komposisi jenis lamun dan juga dapat mempengaruhi perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perbedaan komposisi ukuran butiran pasir akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi dan meneralisasi yang terjadi di dalam substrat (Kiswara,1992).
Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan partikel batuan-batuan diangkut dari daratan ke laut oleh-sungai-sungai. Begitu sedimen mencapai lautan, penyebaran kemudian ditentukan oleh sifat-sifat fisik dari partikel itu sendiri khususnya oleh lamanya mereka tinggal melayang-layang dilapisan (kolom) air, partikel-partikel yang berukuran besar cenderung untuk lebih cepat tenggelam dan menetap daripada yang berukuran kecil. Sedimen terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur  dengan lumpur. Bahan anorganik umumnya berasal dari hasil pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terbagi atas, kerikil, pasir, lumpur dan liat. Butiran kasar banyak dijumpai dekat pantai, sedangkan butiran sedimen halus banyak ditemui di perairan dalam atau perairan tenang. 


           

No comments:

Post a Comment